PUASA DAN KEJUJURAN
Oleh. Prof. Dr. Thohir Luth, MA (Ketua PPA-UB, Ketua PWM Jawa Timur)
A. PENDAHULUAN
Alhamdulillah, setiap bulan suci Ramadhan Badan Dakwah Islam (BDI) YAUMIL NGL Bontang selalu mengundang para Da’i se-Indonesia untuk memberikan ceramah selama satu bulan. Materi-materi ceramahpun ditetapkan secara baik dan terjadwal berikut masjid-masjid dan tempat-tempat para Da’i memberikan ceramah mereka. Salah satu diantara materi yang ditetapkannya itu adalah: PUASA DAN KEJUJURAN Sudah tentu terget penetapan tersebut agar para Da’i menyampaikan materi itu dapat menjadi bahan pencerahan bagi masyarakat dalam kawasan NGL Bontang, untuk menyadari betapa pentingnya puasa dengan pendidikan kejujurannya. Harapan YAUMIL NGL Bontang kedepan adalah keluarga besar YAUMIL NGL Bontang yang setiap tahun berpuasa supaya semakin jujur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai masyarakat beriman dilingkungan perusahaan petro dollar tersebut. Harapan tersebut bukan tanpa alasan, tetapi mempunyai relevansi yang signifikan dengan mengelola kekayaan negara migas yang bisa memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengelolaan kekayaan negara tersebut tidak cukup di dukung oleh SDM yang berkompetensi dan management yang handal, tetapi juga mentalitas manusia selaku regulator dan operatornya. Maka, mentalitas SDM yang jujur menjadi sangat penting dan mutlak adanya (Sine qua non). Kendatipun harapan dan terget itu tidak mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan, paling tidak ada simpanan informasi tentang betapa pentingnya soal kejujuran bagi kehidupan manusia beriman secara mikro maupun makro. Simpanan informasi tersebut juga bisa menjadi inspirasi sekaligus memancing datang hidayah Allah SWT kepada setiap pribadi yang ingin kembali ke jalan yang benar. Syukur ada penghayatan dan pengamalan langsung tentang kejujuran seusai para Da’i menyampaikan materi tersebut (harapan idealnya).
B. MAKNA PUASA DAN KEJUJURAN
Puasa dalam bahasa Al-Qur’an adalah Al-Shiyam, yang makna generiknya adalah Al-Imsak yang artinya “ menahan “. Secara istilah, puasa diartikan sebagai “menahan makan dan minum serta sesuatu yang merusaknya mulai fajar hingga terbenam matahari”. Pengertian ini secara materil, kita yang berpuasa dilarang melakukan perbuatan yang secara materil berhubungan aktifitas kebendaan seperti makan, minum dan berhubungan badan (seksualitas). Tetapi makna tersebut sesungguhnya hanya pada wilayah kebendaan yang bersifat memberikan kepuasan yang bersifat fisik semata secara mikro. Sedangkan Al-Shiyam secara makro diartikan sebagai upaya menahan diri dari hal yang membatalkan secara kebendaan, maupun hala-hal yang merusaknya secara spiritual seperti perkataan kotor, perbuatan terlarang, dusta, pandir, jahil dengan seluruh kawan-kawannya, berikut melakukan amalan-amalan wajib dan sunnat yang berkaitan dengannya. Pengertian Shiyam seperti inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT, sehingga kepada orang-orang beriman dipanggil untuk melakukannya (Al-Shiyam) sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah; 183. Sudah pasti orang-orang beriman yang melakukan shiyam seperti tersebut diatas menjadi manusia beriman yang muttaqin sebagai tujuan diwajibkannya shiyam.
Adapun manusia “muttaqin” itu ialah: mereka yang memiliki tiga tanda dalam kehidupannya. Yaitu: menjaga diri dari segala sesuatu yang dimurkai Allah, tidak merusak dirinya, dan tidak pula merusak / merugikan orang lain. Disini Shiyam mendidik manusia beriman untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan distruktif atau perbuatan menyimpang (anomali) lain. Sehingga keberadaannya sebagai muttaqin tetap terjaga sepanjang kehidupannya. Ini berarti jujur menjalani seluruh aktivitas kehidupan menjadi syarat mutlak dalam diri setiap orang beriman, atau dalam bahasa gaul “jangan ada dusta diantara kita” Dengan demikian maka Shiyam mempunya poros utamanya adalah kejujuran, sehingga segala yang bersangkutan dengan Shiyam memerlukan kejuuran didalamnya. Tanpa kejujuran dalam Shiyam maka tidak ada artinya sama sekali kecuali hanya sekedar merasakan lapar dan haus saja. Hal inilah yang diperingatkan Rasul dalam hadistnya riwayat Ibn Majah dari Abu Hurairah “Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga” (Al-Hadist).
Adapun kejujuran atau jujur dalam bahasa Al-Qur’an “Al-Shadiqin” (Orang-orang benar atau jujur). Dan, panggilan untuk menjadi orang-orang benar-jujur, juga hanya dialamatkan Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana panggilan puasa pada orang-orang beriman. “Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar/jujur” (QS: Al-Taubah: 119). Demikian diayat lain yang (semakna), Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah Kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar/jujur (QS: Al-Ahzab: 70). Paling tidak kedua ayat tersebut diatas adalah panggilan Allah kepada orang beriman untuk bertaqwa dan berbuat benar/jujur. Artinya tanda-tanda paling utama dari orang beriman dan bertaqwa (Muttaqin) itu adalah orang yang berbuat benar/jujur. Atau dengan pengertian lain bahwa orang beriman itu ialah mereka yang bertaqwa dan mereka yang berkata benar/jujur. Kedua ayat ini sebangun denga Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 183 tentang perintah berpuasa. Maka dapatlah difahami bahwa panggilan berpuasa pada orang beriman adalah juga panggilan untuk berbuat benar/jujur. Hal tersebut juga mendapat perhatian Rasul SAW dalam sabdanya “Bahwasannya kebenar itu membawa kebaikan (taat) dan kebaikan itu membawa jalan ke surga”. Dan seseorang yang berkata benar, hingga tercatat disisi Allah sebagai orang benar/jujur (benar cakapnya dengan amalnya). Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada cabul (perbuatan maksiat). Dan cabul itu membawa ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta, hingga tercatat disisi Allah sebagai orang yang pendusta (HR. Buchori-Muslim).
Ayat-ayat dan hadist tersebut diatas menunjukkan betapa pentingnya berbuat benar/jujur dalam kehidupan sehari-hari apalagi kapasitas sebagai orang-orang beriman. Pertanyaan sederhananya adalah mengapa demikian? Jawabnya adalah sebagai berikut. Pertama: Kejujuran adalah jati diri sebenarnya dari orang beriman sekaligus sifat dan sikap utama bagi mukmin/muttaqin. Tanpa hal tersebut, maka tidak ada gunanya keberadaan orang-orang beriman dimata sesama apalagi dimata Allah SWT. Kedua: Kejujuran itu adalah konsekuensi logis dari seorang mukmin atas testimoninya kepada Allah SWT yang didalamnya ada kepatuhan (ketaatan) kepad Sang Khaliq sebagai bukti nyata atas keimanannya untuk melakukan hal-hal yang baik (ma’ruf) dan meninggalkan perbuatan tercela (munkar). Tanpa itu, maka orang beriman sedang memasuki lorong kegelapan (black hole) dan keluar sebagai sibuta dari gua hantu, menerjang, menabrak siapa saja dan apa saja disekitarnya. Ketiga: Didalam kejujuran ada kemaslahatan umat, dan didalam kedustaan ada kezaliman pada umat. Sehingga kepada orang-orang beriman diminta membudayakan kejujuran supaya kehadirannya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya untuk umat dan kemaslahatannya. Demikian sebaliknya jangan ada kedustaan yang menimbulkan kezaliman pada sesama termasuk alam semesta. Jadi, Shiyam yang bermakna imsak (menahan) harus dimaknai imsak secara totalitas baik dalam habluminallah (vertikal) maupun habluminannas (horisontal) yang didalamnya ada kejujuran/kebenaran. Dengan demikian, maka orang-orang beriman itu ialah mereka yang menjadi pelopor dan pahlawan dalam kejujuran/kebenaran.
Ketiga poin tersebut menurut saya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang beriman, baik secara pribadi maupun berjamaah.
C. JUJUR DI ZAMAN INI?
Harus diakui bahwa salah satu krisis terbesar di zaman sekarang adalah “Krisis kejujuran”. Akibat krisis ini maka orang-orang jujur/benar di zaman ini termasuk barang langka alias tidak banyak alias hanya sedikit sekali. Mendapatkan pemimpin yang jujur di zaman ini seperti mencari mutiara di lautan lepas menggunakan alat konvensiaonal. Bahkan menemukan masyarakat yang jujurpun tak ubahnya seperti sulitnya mendapatkan pemimpin yang jujur. Masyarakat dan pemimpin di zaman ini nyaris tidak terselamatkan dari perkataan dan perbuatan jujur. Mereka sedang berlomba dalam ketidakjujuran untuk mendapatkan kekuasaan dan rizki yang tidak berkah, alias haram.
Kekuasaan, uang dan berkiblat pada wanita pemuas libido telah menjadi berhala baru. Mereka merasa bangga menikmati kepuasan palsu diatas penderitaan orang lain, kendatipun mengklaim diri sebagai orang beriman. Sumpah dan janji atas nama agama semakin marak diingakari ketika ia menjadi pemimpin. Sebab, ilmunya ilmu kuda, diletakkan didepan dia menggigit di taruh dibelakang dia menyepak. Ketika ia menjadi masyarakat biasapun berulah yang aneh-aneh. Karena ilmunya ilmu kodok keatas menjilat, kesamping menyikut, kebawah menginjak. Begitulah gambaran makro masyarakat masa kini. Sehingga mencari dan mendapatkan manusia yang jujur di zaman ini sudah termasuk makhluk yang paling langka yang seharusnya perlu dibudidayakan. Jika tidak kita akan mendapatkan satu masyarakat serba boleh (pemissive society) yang terus menggelorakan kebolehan konyolnya pada sesama. Akibatnya terjadi kerusakan (fasad) diseluruh lini kehidupan manusia karena dominasinya manusia yang berbuat jelek / buruk. Persis seperti yang difirmankan Allah “Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya merasakan pada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (kejalan yang benar) (QS: Al-Rum: 41). Ayat tersebut diatas telah nyata secara de facto dan de jure tentang keadaan kita di zaman ini. Lantas apakah kita tidak mau mengambil pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar? Ataukah kita ingin mendapatkan kehancuran total dari semua fasilitas dan sistem kehidupan-kehidupan kita? Hanya orang-orang beriman yang muttaqin dan jujur dalam menjalani kehidupannya sajalah yang bisa memperbaiki keadaan ini sehingga Shiyam harus diartikan sebagai mempuasakan diri dari segala bentuk kemunkaran. Sementara itu muttaqin harus pula mentaqwakan diri dari segala yang ma’ruf supaya tumbuh masyarakat baru yang lebih baik dan mendapat Ridha Allah SWT negeri yang dihunipun menjadi Baldatun Thayyibatun Warabbun Gafur (suatu negara yang indah, bersih, suci dan makmur dibawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun).
Kita telah bershiyam (puasa) sepanjang umur kehidupan kita semenjak menjadi usia baligh. Maka nilai dari pendidikan Shiyam itu seharusnya dapat merubah kepribadian kita. Yaitu: dari pribadi yang suka dengan perbuatan jujur (destruktif), menjadi sosok pribadi yang taqwa (konstruktif), termasuk dari yang suka berbohong menjadi cinta pada kejujuran. Seharusnya demikian (das sein), tetapi ternyatanya (das sollen) tidak seindah itu.Lalu apakah ada yang salah (something wrong? ) Jujur kita akui bahwa masyarakat di negeri ini banyak yang berpuasa, berhaji, berzakat dan masih membaca dua kalimat syahadat, tetapi implementasinya tidak sebanyak itu, alias hanya sedkit sekali. Sehingga dikatakan ada yang salah itu artinya keberagamaan kita masih bersifat simbolik-situsional ketimbang berkepribadian agama secara otentik (satunya kata dengan perbuatan). Padahal perintah beragama itu secara substansial adalah membentuk kepribadian yang shaleh secara pribadi maupun shaleh secara sosial. Itulah hakekat beragama (berislam) yang sebenarnya untuk mendapatkan hasanah di dunia sekaligus hasanah di hari akhirat kelak sebagai dambaan setiap mukmin dalam do’a yang disebut sapu jagad (QS:Al-Baqarah : 201). Jika demikian halnya, maka puasa dan kejujuran harus menjadi pakaian batin dalam keseharian kita. Dia harus menghiasi dan memperindah diri kita dalam setiap aktivitas dimana dan kapanpun kita berada. Jangan ada penyimpangan (anomali) dalam diri orang beriman.
D. PENUTUP
Kita telah bertahun-tahun mengerjakan Shiyam (puasa). Maka, pendidikan puasa tersebut harus membekas nyata pada kepribadian kita sebagai mukmin otentik. Satu diantara pendidikan puasa yang amat penting bagi kita adalah jujur dalam perkataan dan jujur dalam perbuatan. Karena disinilah ruang bagi kita untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tanpa itu kita akan menjadi makhluk yang paling sial nasibnya diantara semua makhluk di dunia ini. Boleh jadi jadi mereka itu lebih beruntung ketimbang orang beriman dalam kepura-puraan. Semoga Shiyam membentuk pribadi muttaqin yang jujur secara otentik pula. Amin. [kim]