Membangun Etos Kerja Agamis

Oleh. Prof. Dr. Thohir Luth, MA  (Ketua PPA UB, Guru Besar Ilmu Hukum Islam di FH UB)

Bekerja, apapun pekerjaannya sepanjang itu tidak melanggar norma-norma agama, maka pekerjaan tersebut adalah Ibadah. Yaitu salahsatu bentuk pengabdian kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam perspektif sosial (muamalat). Sejatinya kerja itu ibadah, maka bekerja memiliki dimensi ritual dan sosial. Pada dimensi ritual bekerja diniati ikhlas karena Allah Swt. Dalam tataran ini para pekerja ini mensucikan niatnya hanya karena Allah, bukan karena yang lainnya, kendatipun akan berdatangan dampak positif lainnya, seperti memperoleh penghargaan, penghasilan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk dimensi sosial, bekerja untuk kebaikan dan memberikan kebaikan / manfaat pada sesama. Atau dengan pengertian lain seseorang pekerja dengan pekerjaannya itu membawa maslahat (kebaikan) bagi kepentingan umum / bersama. Dalam perspektif ini para pekerja yang dengan pekerjaannya sudah diperhitungkan secara baik untuk kepentingan bersama. Artinya, pekerjaan yang dilakukan itu mempunyai makna positif, konstruktif untuk kepentingan publik. Sehingga segala cara yang ditempuh dalam pekerjaan yang menabrak norma-norma agama, etika dan moral dinyatakan sebagai penyimpangan (anomali). Dan menjauhi perbuatan anomali tersebut merupakan satu kemestian (it must).

Dewasa ini banyak orang tidak menghiraukan pekerjaan sebagai perbuatan ibadah. Oleh karena itu pekerjaan dianggap sebagai satu peluang untuk mendulang rizki kendatipun dengan cara-cara ilegal. Padahal perbuatan tersebut telah menciderai ibadah, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan dampak negatif bagi pelakunya. Bahkan lebih serius dari itu adalah mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa dalam masyarakat.

Masyarakat, baik secara de facto maupun de jure telah menjadi saksi sejarah kelabu atas dampak negatif yang timbul karena bekerja yang tidak agamis. Pekerjaan tersebut sudah pasti akan menyeret masyarakat kelorong kegelapan (black hole) yang menjanjikan berbagai tragedi. Tragedi-tragedi inilah membawa malapetaka yang berkelanjutan dan terus mengancam kenyamanan publik. Karenanya bekerja seperti itu harus dinyatakan sebagai bagian dari bencana terhadap sesama untuk supaya ditinggalkan/abaikan. Tanpa itu, maka masyarakat (publik) akan selamanya menjadi korban bencana kerja yang terus memeratakan penderitaan bersama.

Dalam konsep bekerja sebagai ibadah inilah yang sejatinya memberikan kenyamanan bahkan kebahagiaan bagi para pekerja secara mikro dan publik secara makro. Ini memberi syinyal bahwa bekerja secara agamis itu sesungguhnya perintah untuk membagi kebaikan dan rahmat terhadap sesama.

Secara makro pula pekerjaan seperti ini akan membentuk rumah keselamatan (dar al-salam) baik bagi penghuninya, maupun para tamunya. Konsep kerja semacam inilah perlu dibangun dan dibentuk oleh setiap pekerja dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya dalam satu pekerjaan. Artinya pekerjaan untuk mendapatkan dan mendatangkan rizki itu memang satu kelaziman, tetapi jiwa pekerjaan itu tetap sebagai ibadah. Dari sinilah kita sebagai pekerja merasakan kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan karena sedang beribadah dan bahagia karena kita telah membagi kebaikan terhadap sesama. Atau dalam termionologi ekonomi, pekerjaan sebagai ibadah itu sesungguhnya kita sedang menanam saham-saham sosial dan pada akhirnya berubah secara otomatis menjadi saham spiritual. Saham-saham tersebut akan menjadi amal yang terus mengalir (amalan jariah) baik secara kuantitatif maupun kwalitatif permanen.

Disinilah indahnya sebuah pekerjaan agamis yang memberikan kebahagiaan abadi bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat dalam satu tenda besar yang bernama “Rumah Keselamatan” (dar al-salam) yang menjadi dambaan kita bersama. Karena bagaimanapun juga semua kita akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatan yang kita lakukan khususnya dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal tersebut merupakan konsekuwensi,logis dari kedudukan kita sebagai khalifah (pemimpin) dimuka bumi.

Adapun tanggung-jawab tersebut melalui mekanisme yang terukur, yaitu apa yang kita lakukan / kerjakan baik maupun buruk. Karenanya kepada orang-orang yang beragama diminta untuk melakukan / mengerjakan hal-hal yang baik (amal shaleh) seraya meninggalkan sebaliknya (amal syayiat). Jadi sejatinya orang beragama itu hanya ada satu pilihan dalam aktivitinya, yaitu hidup mulia (Isy kariman) atau mati syahid (mut syahidan). Pilihan tersebut paling banyak berada dalam wilayah kerja dimanapun kita berada. Sehingga akan menjadi lebih indah jika pilihan kerja kita berpihak pada yang baik (hasanah) bukan yang buruk (syayiat). Karena, pada akhirnya masing-masing diri akan menerima balasan atas pilihan kerja tersebut sebagai konsekuwensi logisnya.

Dalam konsep agama, bekerja adalah ibadah, maka kualitas kerja lebih diutamakan ketimbang kuantitasnya. Apalah artinya kuantitas kerja seseorang kalau hanya memperpanjang daftar penderitaan baik untuk dirinya maupun terhadap sesama. Demikian pula kualitas kerja seadanya, tanpa ada sesuatu yang spektakuler, atau sangat bermanfaat untuk sesama. Pekerjaan seperti ini sesungguhnya hanya menggugurkan kewajiban saja, bukan sebagai ibadah yang memiliki multi kebaikan untuk sesama. Karena esensi dari ibadah-ibadah itu adalah bagaimana kita bisa memberikan banyak kebaikan pada sesama termasuk diri sendiri. Dan hanya seperti ini kita memperoleh kebahagiaan ganda (dunia-akhirat) dalam arti yang sebenar-benarnya. Disini pulalah kehadiran agama dalam pekerjaan menjadi satu kebutuhan penting dan mutlak (sine quanon). Tanpa itu hidup kita hanya menunggu giliran untuk menderita yang berkelanjutan. Semoga kita semua menjadi pekerja yang baik. [kim]