IDUL FITRI MEMBENTUK PRIBADI YANG BERSIKAP ADILIDUL FITRI MEMBENTUK PRIBADI YANG BERSIKAP ADIL
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
اللهُ أكْبَرْ٣× اللهُ أكْبَرْ٣ اللهُ أكْبَرْ٣ اللهُ أَكْبَر كَبِيْرًا وَالْحَمْدُلِلَّهِ كَثِيْرًا.
الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
أَللَّهُمَّ فَصَلِّ عَلَى هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ:
Wahai saudaraku kaum muslimin yang berbahagia disisi Allah.
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar lebih besar dari segala kekuatan yang ada di muka bumi ini. Allah lebih besar dari kesewenang-wenangan para penguasa yang sewenang-wenang, Allah lebih besar dari kesombongan orang-orang yang merasa sombong di muka bumi ini. Allah lebih besar dari kepongahan orang-orang yang berduit dan memegang kekuasaan. Allah lebih besar dari alam semesta ini. Allah lebih besar dari 7 lapis bumi dan 7 lapis langit.
Mari kita limpahkan shalawat, taslim dan keberkahan kepada kekasih Allah, junjungan kami Nabi Muhammad SAW, yang berjuang habis-habisan dalam menyelamatkan umat ini dari kesesatan yang akan membawa siksa abadi, juga kepada para sahabat, keluarga dan ahli warisnya sekalian.
Maa’syirol Muslimin Rohimakumullah.
Islam mengajarkan kita untuk senantiasa bertakbir, saat azan berkumandang maka yang pertama kali diucapkan adalah takbir membesarkan nama Allah, saat iqamah kita mengucapkan takbir. Saat memulai shalat kita juga mengucapkan takbir. Saat bayi dilahirkan pun kita mengucapkan takbir di kedua telinganya. Saat kita menyaksikan segala keagungan dan kebesaran Allah kita bertakbir. Saat terjun ke medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah kita juga bertakbir. Dan pada hari Idul Fitri seperti saat ini kita mengucapkan takbir keras-keras, membesarkan asma Allah SWT.
Allahu Akbar….. Allahu Akbar…… Allahu Akbar
Kita gembira sekali waktu menyambut kedatangan ramadhan dahulu, dengan keinginan mengisi berbagai amal ibadah, keinginan kita begitu besar. Mari kita renungkan, kita cocokkan keinginan kita dengan pelaksanaannya. Untuk dapat mengevaluasi keinginan kita tiada lain adalah marilah kita meningkatkan jiwa iman dan taqwa kita kepada Allah SWT, dengan kita wujudkan melaksanakan apa yang menjadi perintah-perintah Allah, serta kita tinggalkan apa-apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.
Lidah kita tidak henti-hentinya memuja dan memuji Allah, serempak mengucapkan kalimat takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar; dirangkaikan dengan kalimat tauhid: La Illaha illallah; dijalin dengan kalimat tahmid: walillahil hamd.
Semuanya itu karena merupakan realisasi kegembiraan kita, dan perwujudan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Adapun menyambut hari raya dengan ucapan takbir, tahlil dan tahmid ini memang diperintahkan oleh Rosullullah SAW sebagaimana sabda beliau:
زَيِّنُوْا اَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيْرِ
“Hiasilah hari rayamu dengan takbir”
Hadirin kaum muslimin yang berbahagia.
Sekarang ramadhan yang suci itu telah pergi. Ramadhan yang mulia itu membawa segudang catatan baik atau buruk dari kita. Untuk itu mari kita kenang sejenak, berapa banyak amal ibadah kita? atau masih ada larangan Allah yang masih belum kita tinggalkan?
Oleh karena itu kembali hadits Rasululloh yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
أَيَّهَا الْمَقْبُوْلُ هَنِيْئًا لَكَ وَيَا أَيَّهَا الْمَرْدُوْدُ جَبَّرَ اللهُ مُصِيْبَتَكَ
“Wahai saudara-saudara yang telah pasti diterima Allah puasanya, bergembiralah engkau, dan berbahagialah, tetapi wahai orang-orang yang ditolak puasanya mudah-mudahan Allah akan menutup bencana yang telah menimpa engkau”
Allahu Akbar…..Allahu Akbar……Allahu Akbar
Hadirin kaum muslimin yang berbahagia.
Hari demi hari kita jalani ramadhan itu dan kini hari yang kita nanti-nantikan telah tiba, Idul Fitri hari kesucian, hari kemenangan bagi kita kaum muslimin, kita gembira tetapi bercampur haru. Ramadhan yang penuh rohmah, pengampunan dan sebagai benteng itu telah pergi. Rohmah karena Allah disaat itu memberi fadillah tinggi akan amalan kita, pengampunan bersih bagi istighfar kita, ya sekaligus benteng perlindungan api neraka bagi kita yang mau berlindung. Sekarang ramadhan itu telah berlalu dari kita, semoga kitapun dikaruniai usia panjang, sehingga dapat bertemu lagi dengan Ramadhan mendatang. Aamiin-aamiin ya robbal alamin.
Oleh karena itu pada hari yang berbahagia ini mari kita mengenang kembali kebesaran dan kemurahan Allah SWT, yang membuka pintu rohmah dan karunia-Nya kepada kita seraya berdo’a dengan merendahkan hati:
اَللهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخُشُّعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
“Ya Allah. terimalah shalat kami, puasa kami, shalat malam kami, kekhusyu’an kami, kerendahan hati kami, ibadah kami. Sempurnakanlah kelalaian atau kekurangan kami. Wahai Dzat yang paling penyayang diantara para penyayang.”
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Angkasa luas penuh dengan gema dan kumandang kalimat-kalimat suci itu, menundukkan hati orang yang beriman, menggetarkan jiwa orang yang mukmin. Bersyukur karena lulus dari perjuangan.
Kita bersyukur kepada Allah, karena baru saja kita lepas dan lulus dari perjuangan mengendalikan dan menundukkan hawa nafsu, musuh manusia yang pertama dan utama dalam kehidupan ini. Kita baru saja selesai melaksanakan ibadah puasa yang mengandung efek dan hikmah paripurna, yang menempa jiwa kita menjadi teguh dan kuat, membentuk watak, disiplin dan siap siaga. Laksana seorang prajurit yang bertempur di medan juang, kita telah kembali dari front sebagai pemenang atau pahlawan. Karena bersyukur dan kegembiraan itu, kita saling bersalam-salaman sambil mengucapkan kata-kata: “Taqobballahu minna waminkum, Minal ‘Aidin wal Faizin”. Didalam rangkaian kata-kata itu terkandung do’a dan pengharapan, mudah-mudahan amal kita diterima Allah dan kita termasuk dalam barisan orang-orang yang kembali dari medan juang sebagai kesatria atau lulus dari latihan rohaniah dengan angka yang terbaik.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Tugas kita sekarang, bagaimana mempertahankan dan meningkatkan amal-amal kebajikan kita yang telah kita lakukan selama berpuasa. Memang, menjalankan amal-amal kebajikan di bulan ramadhan, kebanyakan orang sudah berat, tetapi mempertahankannya di hari-hari di luar ramadhan justru lebih berat. Karena itu, disamping terus memohon petunjuk Allah, hendaknya setiap kita mempunyai cara-cara khusus untuk mempertahankan hasil puasa kita tersebut, misalnya membiasakan puasa Senin-Kamis, menjalankan shalat-shalat Sunnah selain yang fardhu, membaca Al-Qur’an dan suka membantu orang lain, dst.
Saudara kaum Muslimin dan Muslimat.
Apabila ibadah puasa yang baru selesai kita kerjakan diridhoi Allah dan diterima oleh Allah sebagai ibadah yang mabrur, maka pengaruhnya yang nyata akan terasa dan kelihatan dalam cara dan sikap hidup kita sehari-hari. Sebab salah satu efek rohaniah dari ibadah puasa itu akan meningkatkan manusia menjadi seorang yang taqwa seperti yang dijelaskan dalam Al Qur-an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman: Telah diwajibkan kepada kamu berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan kepada ummat-ummat yang terdahulu dengan (tujuan) mudah-mudahan kamu menjadi orang yang taqwa”. (Al-Baqarah: 183)
Masih banyak orang yang belum mengerti apa sebetulnya hakekat taqwa itu, bagaimana dampaknya terhadap kehidupan pribadi manusia dan masyarakat. Sebagian orang terutama yang menamakan dirinya kaum terpelajar, apabila mendengar kata-kata taqwa itu, maka asosiasinya tertuju kepada orang-orang yang memakai tasbih yang tidak lepas-lepas dari tangannya, baik ketika di masjid maupun waktu di rumah, baik sewaktu duduk maupun ketika berjalan. Tergambar dihadapannya seorang yang berjubah panjang, memakai surban, besar, berjalan menekur melihat ke bawah sambil mulutnya bergerak-gerak membaca wiridan-wiridan, asosiasi yang demikian itu adalah keliru. Bukan itu potret orang yang taqwa.
Orang yang taqwa memiliki watak dan kepribadian yang amat perlu dalam kehidupan dan perjuangan. Tidak mungkin dijelaskan semuanya dalam suatu khutbah yang terbatas waktunya seperti sekarang. Saya kemukakan satu saja dari padanya, tapi justru yang sangat penting, malah menentukan dalam kehidupan manusia. Yang saya maksudkan ialah sifat adil yang menjadi ciri yang penting dari sifat orang yang taqwa. Allah menerangkan didalam Al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلُّا تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu berdiri lurus karena Allah menjadi saksi untuk keadilan. Dan janganlah kebencian kepada suatu kaum menyebabkan kamu tidak menjalankan keadilan. Berlaku adillah, sebab adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu maha tahu apa yang kamu kerjakan”. (Al-Maidah: 8)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan secara umum supaya manusia berlaku adil dalam segala hal, sebab adil mempunyai hubungan yang erat dan dekat dengan sifat taqwa. Orang yang sudah mencapai tingkatan taqwa pasti akan bersifat adil dan bertindak menegakkan keadilan. Pada ayat yang lain di tegaskan lebih jauh supaya keadilan itu dilaksanakan tanpa perbedaan atau diskriminatif. Ayat itu berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari keadilan. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (An-Nisa: 135)
Ayat tersebut menggariskan bahwa keadilan itu harus dilaksanakan tanpa pilih kasih dan tanpa memandang bulu, biar terhadap diri sendiri, ibu bapak, anak, keluarga dan lain-lain. Tidak boleh bersikap seperti yang dikatakan oleh peribahasa “tiba di perut dikempiskan, tiba di mata di picingkan”.
Keadilan itu harus ditegakkan secara konsekwen, tanpa memandang orangnya. Tidak peduli apakah orang besar atau orang kecil, apakah penguasa eselon tingkat tinggi atau pegawai tingkat bawah, apakah dia high class atau man in the street dan lain-lain sebagainya.
Menegakkan keadilan sebagai salah satu esensial dari rule of law, tidak boleh memandang kepada hubungan darah, hubungan turunan, hubungan persahabatan. Rasulullah sendiri pernah mengatakan:
وَالَّذِي نَفْسِي مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ سَرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Demi amanah yang saya pegang! Andaikata putri saya sendiri, Fatimah melakukan pencurian, niscaya akan saya potong tangannya” (Maksudnya: Akan dijatuhi hukuman).
Berlaku adil dan menegakkan keadilan itulah yang menjadi sikap jiwa dan hiasan akhlaq kholifah-kholifah Islam dalam memimpin umat, negara dan pemerintahan. Tatkala abu Bakar Sidik di lantik menjadi kholifah yang pertama, setelah Rasulullah wafat, beliau mengucapkan pidato yang merupakan deklarasi keadilan. Diantaranya beliau berkata:
“Saya bukanlah seorang yang lebih baik dari pada kamu. Jika saya berbuat baik maka bantulah saya. Kalau saya berbuat zalim dan menyeleweng, luruskanlah. Keadilan dan kebenaran adalah amanah yang harus dipelihara. Khianat adalah kebohongan dan kepalsuan. Orang-orang yang lemah saya pandang kuat selama mereka menegakkan keadilan dan kebenaran. Orang-orang yang kuat saya pandang lemah jika mereka memperkosa kebenaran dan keadilan”.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Saudara kaum Muslimin dan Muslimat
Banyak contoh-contoh yang terjadi di zaman pemerintahan Islam dahulu kala yang menunjukkan tindakan yang tegas dalam menegakkan keadilan. Umpamanya, putusan Kholifah Umar bin Khattab mengenai satu insiden yang terjadi antara seorang pemuda biasa dengan seorang Raja yang terkemuka. Kejadian itu adalah sebagai berikut:
“Pada suatu hari, seorang Raja suku Al-Gassanah, bernama Jablah bin Al-Aiham, sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Tiba-tiba pinggir kain sarungnya terinjak oleh seorang pemuda. Maklumlah manusia banyak berdesak-desakan. Raja tersebut marah-marah dan terus menampar pemuda itu hingga keluar darah dari hidungnya. Pemuda itu akhirnya menghadap Kholifah Umar bin Khattab untuk meminta keadilan. Setelah dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan, maka Umar bin Khattab menjatuhkan hukuman qishos, yaitu tindakan Raja itu boleh dibalas dengan tindakan yang setimpal, tampar dibalas dengan tampar, sampai darah keluar dari hidung Raja. Mendengar putusan itu, maka Raja Jablah memprotes: Saya adalah seorang raja, sedang pemuda itu hanyalah rakyat biasa”.
Dengan kontan dan tegas, Umar bin Khatab menjawab: “Islam memandang sama saja antara kamu berdua; tidak ada yang lebih mulia antara yang seorang dengan yang lain, kecuali karena taqwa”
Dari sejarah kita dapat menarik pelajaran, bahwa sebab-sebab kerusakan dan kejahatan bangsa-bangsa dan negara, adalah karena menyia-nyiakan keadilan itu. Kesimpulan itu dibenarkan oleh suatu hadist yang berbunyi:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ قَطَعُوْهُ، وَ إِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ.
“Sesungguhnya kehancuran umat-umat yang terdahulu ialah karena mereka menjatuhkan hukuman terhadap pencuri-pencuri yang kecil dan lemah, dan mereka biarkan saja pencuri-pencuri yang besar”.
Artinya, pencuri ayam ditindak dan dihukum, tapi perampok-perampok harta negara dibiarkan terus beroperasi. Atau dengan kata lain, ikan-ikan teri ditindak, tapi ikan-ikan kakap tidak diapa-apakan. Pujangga yang terkenal dizaman dahulu kala yaitu Umar bin Khaiyam, pernah menumpahkan keluhan hatinya melihat ketidak adilan pada zamannya, dengan kata-kata “Pencuri-pencuri kembang di taman bunga dijatuhi hukuman berat, sedang perampok-perampok berlian di istana raja bebas berkeliaran.”
Kaum muslimin yang berbahagia disisi Allah SWT.
Puasa dengan berbagai amalan ramadhan adalah penggemblengan pribadi total. Ramadhan adalah pesantren akbar, ramadhan adalah penataran hati, kata dan langkah/tindak. Hati digembleng dengan qiyamul lail, kata digembleng dengan qiro’atul qur’an dan tindak dilatih dengan shodaqoh, segala amal maksiat dijauhi mulai dari yang kecil lebih-lebih yang besar.
Selanjutnya kebaikan/amal ma’ruf akan rusak apabila tidak dibarengi dengan nahi munkar. Ibarat tanaman apa artinya pupuk bila tanamannya dibiarkan.
Oleh karena itu ancaman tertolaknya puasa dengan, durhakanya anak kepada kedua orang tua/kepada ayah-bundanya, cekcoknya suami-istri, dan pertengkarang antara tetangga adalah bagaikan pembasmian hama, sehingga suburlah tanaman itu, disamping pupuk amal sholeh maka disertai pembasmian maksiat dan kemunkaran, maka sempurnalah pribadi orang yang:
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
Yang artinya: mau mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah berbuat kemunkaran.
Maa’syirol Muslimin Rohimakumullah.
Jama’ah sholat Idul Fitri yang berbahagia.
Hama/racun yang berupa kedurhakaan kepada ayah-bunda, percekcokan suami istri dan pertengkaran antara tetangga, antara teman sekantor, adalah membunuh benih kebaikan yang bernama silaturahmi hubungan kasih sayang.
Dalam bulan ramadhan kita berpuasa, berlatih dengan lapar haus, tentu bukan perintah tanpa hikmah. Puasa kita dengan sengaja, waktunya teratur, ada waktu berbuka, adapula waktu sahur. Meskipun ada saudara-saudara kita yang puasanya tidak diniati, tidak teratur waktunya karena terpaksa, siapa gerangan yang memaksa?
Keadaan sakit yang membelit, dikala perut lapar tidak ada makanan, dikala tenggorokan merasa haus tak ada minuman. Maka dalam bulan ramadhan setelah menghayati langsung betapa pedih perihnya perut orang tak punya, kita dilatih bershodaqoh.
Nabi bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ أَوْ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّائِمِ
“Barangsiapa yang memberi ifthar kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa tersebut”.
Ini berarti kita dilatih untuk mempunyai hati dengan kepekaan sosial yang tinggi, tidak hanya mementingkan diri sendiri, tidak peduli terhadap orang lain, dilatih agar mempunyai rasa ukhuwah islamiyah yang kuat.
Firman Allah dalam surat Al-Hujurat:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, maka ciptakanlah kedamaian diantara saudaramu”.
Lebih lanjut Nabi bersabda:
أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وَصِلَةُ الرَّحِمِ ، وَأَسْرَعُ الشَّرِّ عُقُوبَةً الْبَغْيُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ
“Sesuatu yang paling cepat dapat mendatangkan kebaikan ialah balasan (pahala) orang berbuat kebaikan dan menghubungkan silaturahmi. Dan paling cepat mendatangkan kejahatan ialah balasan (siksaan) orang yang berbuat jahat dan memutuskan kekeluargaan”
Ukhuwah ini hendaklah benar-benar kita camkan karena persaudaraan di dunia dan di surga yang kekal abadi jangan sampai dirusak/diputus, padahal kita selalu berdo’a:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
Allahu Akbar…..Allahu Akbar……Allahu Akbar
Jama’ah sholat Idul Fitri yang berbahagia.
Sebagaimana telah saya kemukakan di atas bahwa ramadhan adalah bulan penataran dan latihan, bulan penggemblengan, ramadhan merupakan pesantren, penerpaan ilmu dan amal ibadah.
Penataran baru dikatakan berdaya guna dan berhasil guna apabila yang ditatarkan itu dipraktekkan di lapangan, diamalkan secara rutin dan kontinyu dalam kehidupan sehari-hari.
Idul Fitri bukan terminal akhir pengabdian ibadah kita, melainkan halte atau pemberhentian sementara untuk melanjutkan perjalanan.
Dalam hal ini Allah mengingatkan kita:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka jika engkau sudah selesai dari satu tugas bersiap-siaplah melaksanakan tugas berikutnya”.
Dalam hal inipun Rasullah SAW mengingatkan kita:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
“Barang siapa (keadaan/amalnya) hari ini lebih baik dari pada hari kemarin maka dialah orang yang beruntung, barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin, ia merugi, dan barang siapa hari ini lebih jelek dari pada hari kemarin, maka dialah orang yang akan mengalami kerusakan”.
Oleh karena itu hadirin jamaah sholat Idul Fitri yang berbahagia, marilah Idul Fitri ini kita jadikan titik tolak untuk meneruskan dan meningkatkan amalan yang sudah kita tatarkan kepada diri kita dalam bulan Ramadhan yang baru lalu.
Kalau dalam ramadhan hama/racun perusak puasa kita hindari yaitu mulai durhaka kepada orang tua, cekcok suami istri (di dalam) sampai keluar tengkar antara tetangga, antara teman kerja, maka mulai sekarang ini juga, sebelum kita kemana-mana, cobalah tradisi kita yang baik kita lestarikan yaitu anak-anak kita mulai yang termuda sampai dengan yang tertua satu demi satu sungkem kepada ibu kemudian ayah, nenek-kakek, adik kepada kakak-kakaknya, dengan didahului isteri sungkem kepada suami dan saling memaafkannya. Setelah itu barulah anjangsana (silahturahmi) kepada famili, tetangga dan seterusnya. Inilah urutan adabiyah silaturahmi dalam berlebaran yang baik.
Dalam merayakan Idul Fitri kita memiliki tradisi keagamaan yang beraneka ragam seperti mudik, saling bersilaturahmi, dll. Itu semua adalah tradisi baik yang tidak dilarang oleh agama, asalkan tidak berlebih-lebihan, tidak menimbulkan fitnah maupun bahaya dan tidak pula bertentangan dengan syariat Allah.
Salah satu rangkaian Idul Fitri yang amat menyita perhatian, dana, waktu, serta tenaga kita adalah tradisi mudik. Untuk mudik kita membutuhkan persiapan yang cukup serta perjalan yang berat dan melelahkan. Itupun kita lakukan demi orang yang kita cintai. Namun seringkali di saat-saat mudik kita lupa bahwa ada peristiwa mudik yang sesungguhnya, yang abadi, yang membuat kita tak kembali lagi ke alam dunia alias mati. Sudah siapkah kita?.
Jamaah rakhimakumullah, kemanapun engkau akan pergi, engkau pasti bertemu dengan “maut”. Mati adalah sebuah pintu, setiap yang hidup pasti akan melewatinya. Siapapun engkau, apakah orang besar yang diagungkan atau orang kaya yang berlimpah harta atau dokter ahli yang mengobati penyakit, atau anak muda yang sehat segar, kalau maut sudah menjemput, engkaupun pasti akan mati. Sebab mati itu bukan mencari orang sakit, bukan merenggut orang yang sedang kepayahan, melainkan mencabut nyawa orang yang telah tiba ajalnya.
Mati adalah “program” Allah yang tiada satupun makhluk yang bisa menghindarinya. Silakan engkau panggil semua dokter yang ada di dunia ini untuk mengobati orang yang sangat engkau cintai. Silakan engkau habiskan seluruh hartamu untuk menyembuhkan berbagai penyakit, tetapi pasti dan pasti tidak ada dokter yang dapat menyelamatkan seseorang dari “ajal”, tidak ada dokter yang dapat memberi resep anti “mati” atau kebal “maut”.
Kita semua akan menjalani peristiwa yang menakutkan itu, besuk, lusa, atau mungkin nanti, lambat atau cepat kita pasti akan “pulang ke akhirat”. Sudahkah kita persiapkan untuk mudik yang abadi itu? Sudahkah kita siapkan tas, koper berisi bekal untuk menyambut “mati”, bekal yang berisi amalan-amalan untuk kehidupan akhirat kita. Kita harus adil pada diri kita, jangan kita cumasibuk menyiapkan bekal persiapan mudik di dunia, tapi harus kita siapkan bekal mudik di akhirat. Semoga kita semua bisa mudik dengan bekal yang bagus dan khusnul khotimah. Sebagaimana Allah berfirman ”sesungguhnya sebaik-baik persiapan adalah taqwa”. Jika tujuan puasa adalah agar kita bertaqwa, apakah hasil puasa kita kemarin sudah cukup untuk mudik yang sebenarnya itu?. Wallahu a’lam bissowab.
Begitu pula dalam ramadhan kita giatkan qiyamul lail, qiro’atul qur’an dan shodaqoh yang juga berarti kegiatan mencapai kebersihan/kesucian diri dan kemenangan mengekang hawa nafsu angkara murka dengan tahajud, melawan kebodohan dengan dorongan iqror dan melawan kemiskinan dengan shodaqoh. Semoga apa yang kita lakukan di bulan ramadhan tidak berhenti hanya saat ramadhan, semoga setelah ramadhan bisa istiqomah kita lakukan sepanjang hari sampai maut menjemput kita. Aamiin Allahumma Aamiin.
Akhirnya marilah kita panjatkan do’a kehadirat Allah SWT. Semoga dengan bekal buah produksi ramadhan yang berupa taqwa itu kita dapat memberikan andil dalam safari panjang pembangunan bangsa, negara kita Indonesia tercinta ini, mudah-mudahan puasa kita dikaruniai-Nya barokah, kita semua dianugerahi-Nya mental dan sifat taqwa sehingga dengan sikap taqwa itu kita dapat memecahkan semua mata rantai persoalan-persoalan yang kita hadapi, dengan iman yang teguh, lebih mengaharap dan lebih optimistis dari tahun-tahun yang sudah.
PENUTUP
Akhirnya hadirin, marilah kita tutup khutbah ini dengan bersama-sama kita tundukkan kepala kita dan tadahkan tangan kita memohon kepada Allah yang Maha Pengasih.
Allahumma ya Allah,
Kami hadapkan hati kami kepada-Mu, ya Allah Tuhan semesta alam memohon welas asih-Mu, memohon curahan rakhmat-Mu.
Ya Allah, kami telah banyak berbuat aniaya, berbuat dholim terhadap diri kami, jika engkau tidak memberi petunjuk dan bimbingan kepada kami, niscaya kami jadi orang yang merugi.
Ya Allah ampunilah segala kekhilafan dosa-dosa kami, jangan engkau hukum kami karena kebodohan kami.
Ya Allah, jadikanlah amal ibadah kami dan anak istri kami, saudara-saudara, muslimin wal muslimat, sebagai pelengkap harumnya bunga di taman firdaus-Mu yang kekal abadi.
Ya Allah karuniakanlah kepada kami kepekaan rasa, agar kami pandai bersyukur kepada-Mu.
Ya Allah, Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami ketajaman hati, agar kami mampu membedakan antara hak dan yang batil, sehingga kami tanpa ragu-ragu meninggalkan yang batil dan melaksanakan yang hak.
Allahumma ya Allah, jadikanlah anak cucu kami, menjadi keturunan yang senantiasa melaksanakan shalat, berakhlakul karimah dan tak putus melafadz kalam sucimu, dan jadikanlah mereka sebagai panutan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ya Allah Tuhan kami, janganlah engkau gelincirkan hati kami setelah engkau bimbing kami di dalam keridhaan-Mu.
Ya Allah jadikanlah lingkungan kami ini, negeri kami ini, negeri yang aman dan makmur sebagai tempat kami beribadah kepada-MU dengan baik.
Ya Allah berikanlah kami kemampuan dan kekuatan lahir batin dalam melaksanakan tugas, mengemban amanah, membina insan-insan bertakwa, calon pemimpin bagi bangsa kami kelak.
Allahumma ya Allah karuniakanlah kepada negeri kami ini, pemimpin-pemimpin yang adil dan jujur. Bimbinglah mereka selalu dalam pelukan hidayah-Mu.
Allahumma ya Allah
Berikanlah kekuatan kepada para pemimpin kami agar mereka senantiasa mampu membawa kami sebagai umat yang Engkau ridhoi.
Rabbana atina fiddun yaa hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qinaa adzaa bannaar. Amin, amin, amin ya Rabbal aalamin.
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى
جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ
وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
فَاسْتَغْفِرْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh”
Oleh:
Prof. Dr. Ir. H. Djalal Rosyidi, AP., MS., IPU.
Guru Besar Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Ketua Komisi A (Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan) Universitas Brawijaya.
Khutbah Idul Fitri 1440 H / 2019 M disampaikan di Lapangan Rektorat UB