IDUL ADHA SEBAGAI WACANA SOLIDARITAS UNTUK MEMBANGUN KEWIRAUSAHAANIDUL ADHA SEBAGAI WACANA SOLIDARITAS UNTUK MEMBANGUN KEWIRAUSAHAAN
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia
Umat Islam yang berada di tanah air menyambut hari raya Idul Adha yang mulia dengan takbir, tahlil, dan tahmid sebagai ungkapan rasa syukur, sedangkan jutaan umat Islam di tanah suci Makkah, Arafah dan Mina sedang berkonsentrasi menunaikan manasik haji. Mereka datang dari berbagai pelosok dunia, dari berbagai bangsa dan suku, dari latar belakang yang berbeda, menyatu dalam kepasrahan kepada Allah s.w.t.. Mereka menanggalkan segala atribut duniawi, meninggalkan berbagai aktivitas sehari-hari untuk menghadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan penuh khusyu dan keikhlasan. Secara serentak, mereka mengumandangkan kalimat talbiah:
“Kami penuhi panggilan-Mu wahai Allah, wahai Allah kami datang memenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan karunia hanyalah milik-Mu, milik-Mu segala kekuasaan dan kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu”.
Allahu Akbar, walillahil hamd.
Mereka yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci itu, tidaklah semuanya orang-orang kaya, berpangkat atau berharta. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat biasa, yang semenjak kecil, ketika ia sadar sebagai seorang muslim telah mengukirkan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk merealisasikan niatnya yang kuat itu, selama bertahun-tahun mereka bekerja keras, berhemat dan menyisihkan uang yang diperolehnya sedikit demi sedikit, sehingga cukup bagi ibadah yang mulia itu. Mereka telah membiasakan diri hidup sederhana, baik pada waktu mereka miskin maupun saat mereka berkecukupan. Mereka sisihkan sebagian hartanya yang diperoleh dengan jalan memeras keringat, dengan kerja keras, demi mengagungkan syiar agama Allah dan mengagungkan dakwah Islamiyah. Pengabdian yang tulus dan suci itu dilakukan dalam rangka mencari keridhaan-Nya, keridhaan yang senantiasa didambakan oleh setiap orang yang beriman.
Kaum muslimin-muslimat yang berbahagia
Telah diwajibkan kepada kita semua untuk melaksanakan ibadah haji, berkurban, perintah menunaikan zakat dan berinfak, menunjukkan kepada kita, kepada setiap orang muslim, agar diarahkan untuk membangun kewirausahaan sosial. Kewirausahaan sosial adalah suatu pemikiran, sikap dan tindakan kolektif masyarakat yang bertujuan mengenali permasalahan sosial yang dihadapi, bagaimana merencanakan perubahan sosial yang diinginkan dengan menggunakan prinsip-prinsip,proses dan kegiatan kewirausahaan sehingga tatanan, perilaku, dan tindakan masyarakat menjadi lebih baik.
Setiap orang yang dapat membangun kemampuan pada dirinya untuk berwirausaha, maka ia akan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama dan dalam mengembangkan solidaritas sesama umat manusia. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa tangan yang di atas (orang yang berinfak) lebih baik dan dicintai oleh Allah, daripada orang yang tangannya di bawah (penerima infak). Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Muhammad s.a.w. pernah didatangi seorang sahabatnya yang sangat miskin untuk meminta bantuan bagi keluarganya di rumah. Nabi sebetulnya bisa membantu orang itu dengan memberi uang atau makanan, tetapi beliau tidak melakukan hal itu. Ia ingin mendidik umatnya agar jangan menjadi seorang yang lemah dan menggantungkan dirinya kepada belas kasihan orang. Kemudian Nabi menyuruh orang itu agar mengambil apa yang dia miliki dirumah untuk dijual dan dijadikan modal, meskipun jumlahnya kecil. Sahabat itu hari berikutnya datang kepada Nabi dengan membawa satu mangkok tua dan kemudian dijual pada sahabat lain. Hasilnya kemudian dijadikan modal.
Hasil penjualan mangkok itu tidak banyak, kira-kira hanya mencapai dua dirham. Nabi s.a.w. menyerahkan satu dirham untuk membeli sembako bagi keluarganya di rumah dan satu lagi dibelikan kampak untuk membuat kayu bakar. Sahabat itu kemudian bekerja dengan alat yang dibelinya dan memperoleh penghasilan setiap harinya. Ia akhirnya dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Bimbingan Islam kepada umatnya diarahkan agar mereka menjadi bangsa yang unggul, memiliki kemampuan yang tinggi, baik secara moril maupun materil. Karena itu, setiap orang muslim harus memiliki kemampuan untuk membangun kewirausahaan sosial. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengantarkan umat manusia agar melakukan aktifitas yang mengarah pada uraian di atas, antara lain:
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya. Itulah kemenangan yang nyata.” (QS. al-Jatsiah, 45:30).
Amal shaleh dalam ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang serupa itu, tidak hanya diarahkan bekerja atau beramal untuk akhirat saja, tetapi juga harus bekerja dan beramal untuk kehidupan dunia, termasuk melakukan pekerjaan secara profesional, sehingga melahirkan karya-karya besar yang spektakuler yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Penjelasan dari hadis nabi pun sangat banyak mengenai membangun kewirausahaan sosial, antara lain:
“Sekiranya engkau memanfaatkan tali, kemudian mencari kayu bakar, lalu kamu panggul di atas pundakmu, lalu menjualnya, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), hal seperti itu jauh lebih baik dari meminta bantuan kepada orang lain, baik mereka memberinya atau menolaknya”. (HR. Bukhari, 1384).
Hadis ini memberikan pelajaran kepada kita agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan membangun etos wirausaha agar setiap diri manusia memiliki kemampuan yang memadai, baik dalam kehidupan pribadi, ataupun dalam bermasyarakat. Penekanannya bukan kepada mencari kayu bakar, yang dimaksud di situ adalah berkerja keras yang terpola dengan baik, membangun jejaring sosial, mempertajam empati, sehingga menghasilkan kemakmuran yang berkeadilan di tengah keluarga dan masyarakat.
Allahu Akbar, walillahil hamd.
Sebagai penjelasan lebih jauh agar membangun kewirausahaan sosial, Nabi s.a.w. menyampaikan beberapa hadis yang melarang seseorang meminta bantuan kepada orang lain. Dengan tidak meminta bantuan kepada orang lain, dan dia bekerja sungguh-sungguh untuk memperoleh penghasilan yang layak, maka orang itu akan memperoleh hasil yang maksimal dan dapat ridha dari Allah s.w.t. orang seperti ini kemudian terbentuk dalam masyarakat dan bangsa, maka akan lahirlah khaira ummah (umat yang terbaik), bangsa yang unggul yang akan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain. Sebagian dari hadis yang menjelaskan tentang larangan meminta-minta adalah:
“Ketika kami sedang duduk bersama beberapa orang sahabat, jumlah kami kira-kira tujuh, delapan atau sembilah orang, datang pada kami Rasulullah saw seraya bersabda, “Tidakkah kamu berbaiat kepadaku?”. Kami menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah berbaiat kepadamu.” Kemudian Nabi saw bersabda lagi, “Tidakkah kamu berbaiat kepadaku?”. Maka kami segera mengulurkan tangan untuk berbaiat sambil berkata, “Kami telah berbaiat, wahai Rasulullah, maka baiat apa lagi yang harus kami sampaikan?”. Nabi menjawab, “Berbaiat untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kemudian shalat lima waktu serta taat kepada Allah.” Kemudian Nabi saw merendahkan suaranya sambil bersabda, “Dan jangan meminta-minta suatu apapun kepada orang lain.” Betapa kesungguhan para sahabat menerima baiat Nabi tadi, perawi hadits meriwayatkan bahwa ia melihat sebagian dari mereka yang ada di situ jatuh cambuk kendaraannya dan ia tidak meminta pertolongan kepada siapa pun untuk mengembalikannya. (HR. Muslim: No.1729).
Sungguh amat tercela orang yang selalu meminta-minta belas kasihan orang lain, ia akan menghadap kepada Allah di hari kiamat dengan muka bagaikan tengkorak.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda, “Seorang tidak henti-hentinya meminta belas kasihan kepada orang lain, hingga nanti ia akan datang pada hari kiamat dengan bentuk muka yang tidak berdaging (seperti tengkorak).” (HR. Bukhari: No. 1381 dan Muslim: No. 1725).
Hadirin Jamaah sholat Idul Adha yang berbahagia!
Kita semua berharap semoga umat Islam secara keseluruhan dapat memperbaiki kinerjanya secara baik, sehingga dapat meningkatkan Wirausaha Sosial, meningkatkan SDM kita menuju SDM yang unggul dan dapat bersaing dengan dunia internasional. Dengan demikian, kita akan menjadi bangsa yang memiliki keunggulan setarap dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Semoga kita semua memperoleh bimbingan serta ridha dari Allah swt dalam segala kehidupan kita. Amin ya Rabbal ‘Alamin. **Khutbah Idul Adha Disampaikan Oleh Prof. Dr. Fadel Muhammad. di Lapangan Rektorat Universitas Brawijaya pada tanggal 22 Agustus 2018