[:id]CORONA DAN LENTERA RAMADHAN[:]

[:id]Oleh: Siti Rohmah (Dosen PAI UB)
Marhaban yaa Ramadhan, marhaban yaa syahrosh shiyaam…!!!
Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh seluruh umat Islam sedunia. Ramadhan adalah bulan mulia yang dipenuhi samudera rahmah dan maghfirah. Di bulan inilah kitab suci Al-Qur’an diturunkan. Di bulan ini pula ada malam yang kualitasnya menyamai seribu bulan. Para Malaikat turun dari langit berduyun-duyun memenuhi bumi untuk mendistribusi berkah Sang Khaliq. Hanya di bulan ini Tuhan mengobral pahala dan membuka lebar pintu surga serta menutup rapat pintu neraka. Betapa sangat wajar jikalau kehadiran Ramadhan selalu dirindukan dan dinantikan bak oase di padang pasir.
Namun, ada yang berbeda dengan Ramadhan di tahun 2020 ini. Ramadhan kali ini kondisi dunia sedang berduka karena dilanda musibah corona. Pengalaman bulan suci Ramadhan di tengah pandemi corona ini, menjadi pengalaman yang distingtif dari Ramadhan di beberapa dekade sebelumnya. Suasana Ramadhan saat ini absen dari euforia selebrasi. Tak ada pernak-pernik penyambutan serta ungkapan kebahagiaan yang berlebihan karena kehadirannya. Ramadhan kali ini seakan menjelma momen penenangan seperti makna hakiki dari puasa itu sendiri.
Pandemi corona yang memaksa semua untuk setia tinggal di rumah saja, di sisi lain menjadi kesedihan tersendiri. Namun bagi siapa saja yang bijak memaknainya corona menjelma lentera penuntun pada Yang hakiki. Terlepas dari perdebatan apakah corona datang alami atau datang by design, kita yang menjumpainya harus arif menyikapinya.
Jika di era pandemi ini mengharuskan adanya kekuatan sistem imun tubuh, agar virus enggan menghampiri dan menggerogoti diri; maka di bulan suci Ramadhan ini imunitas kesalehan individu dan kesalehan sosial harus diperkokoh agar syahwat dunia enggan mengkooptasi diri. Enyahkan kesalehan populer yang selama ini menjadi ajang kontestasi dan unjuk diri.
Jika di era pandemi ini masker banyak dicari sebagai tameng diri dari potensi diaspora corona; maka masker dalam konteks Ramadhan sejatinya adalah menghijabi diri dari keruhnya hati yang menjadi inang maksiat. Hati yang jernih mampu memancarkan kualitas diri yang mulai berkarat. Ironisnya, tidak setiap diri menyadari.
Jika di era pandemi ini ada kebijakan physical distancing agar mengikis penyebaran corona; maka momentum Ramadhan kali ini hakikatnya sebagai instrumen syahwat distancing agar diri semakin dekat dengan Sang Maha Qariib.
Jika di era pandemi ini sering mencuci tangan menjadi sebuah konsensus global untuk memutus mata rantai corona; maka Ramadhan esensinya adalah sarana bersih-bersih diri baik jasadi maupun ruhani. Jika setan selama ini acapkali menjadi alasan apologetic atas kesalahan kita, maka Ramadhan menjadi cermin diri bahwa ternyata nafsu kita yang menjadi biangnya. Ramadhan harusnya mampu menjadi alarm agar kita mampu menundukkannya.
Jika di era pandemi ini kebijakan pemerintah mengharuskan untuk menjeda diri dari hiruk pikuk mudik yang sudah menjadi habituasi, maka selayaknya kita raih momentum keintiman senja Ramadhan yang di dalamnya mulai dibuka malam lailatul qadar. Dalam tradisi kebanyakan kita, wibawa Ramadhan hanya sakral di awal namun luntur di akhir karena disibukkan ritual tahunan yang kerapkali keluar dari esensi.
Jika selama ini ritual puasa kita hanya di bulan Ramadhan dan kita selalu punya harapan untuk berbuka, maka di luar sana masih banyak saudara kita yang puasa setiap hari namun tanpa harapan berbuka. Ramadhan adalah momen berbagi dan saling peduli, apalagi di era pandemi ini empati kita harus lebih digali lagi.
Landscape Ramadhan di era pandemi ini sejatinya semakin menuntun kita untuk menggapai momen hibernasi diri dari rutinitas yang minim kualitas. Ramadhan di era pandemi ini mengantarkan kita untuk fokus pada sujud dari pada sibuk memenuhi atribut. Ramadhan di era pandemi ini menggugah kita untuk menjadi pribadi arif yang mampu merefleksi dalam harmoni dzikir, fikir dan aksi. Ramadhan di era pandemi ini menguji nyali kita untuk menyeimbangkan afeksi kesalehan individu dan kesalehan sosial yang kerapkali saling mensegregasi. Ramadhan di era pandemi ini mengevokasi keimanan dan ketakwaan kita yang selama ini kerap teralienasi.
Semoga momen corona di Ramadhan kali ini mampu menjadi kawah candradimuka yang mengantarkan kita pada pencapaian menuju kesalehan paripurna.
Wallahua’lam bish showab!![:]